Bijak Memahami Pesan Tubuh
By; Adi W Gunawan
Pembaca, bayangkan anda memegang tube pasta gigi
yang tertutup rapat. Apa yang akan terjadi bila Anda memencet keras tube pasta
gigi ini? Di awal mungkin tidak ada perubahan atau pengaruh. Coba Anda lakukan
lagi, pencet lebih kuat, semakin kuat, lebih kuat lagi. Apa yang terjadi? Cepat
atau lambat pasta gigi di dalam tube akan mencari jalan keluar. Keluarnya bisa
dari dasar tube atau dari samping. Intinya pasta akan mencari jalan keluar
dengan membuat lubang melalui titik terlemah dari struktur tube.
Sekarang bayangkan tube adalah diri Anda. Bayangkan
Anda di bawah tekanan dan mulai mengalami stres psikologis atau emosi. Anda
tetap menutup diri dan tidak bersedia
membuka tutup “tube” Anda. Semua Anda simpan atau pendam sendiri. Apa yang akan
terjadi?
Cepat atau lambat tekanan ini pasti mencari jalan
keluar. Bila tekanan ini tidak bisa keluar dari “tutup” di atas, dengan
diungkapkan dan diselesaikan, maka ia akan mencari jalan keluar lainnya.
Tekanan ini akan mencari titik terlemah pada “tube” (baca: sistem tubuh) Anda,
bisa melalui sistem pencernaan, sistem saraf, sistem kekebalan tubuh, sistem
hormon, otot-otot tubuh, atau pola tidur Anda. Saat tekanan “keluar” melalui
sistem tubuh maka kita akan sakit.
Bila tekanan ini berhasil mencari jalan keluar dari
“atas” maka ia akan menjadi permusuhan, kebencian, sikap agresif, curiga,
marah, atau takut. Bila ditekan ke bawah ia akan menjadi sakit, depresi,
adiksi, atau kecemasan.
Memahami Simtom
Tubuh berbicara kepada kita melalui simtom, baik
melalui jenis simtom, pengaruh simtom terhadap diri kita, dan perubahan yang ia
minta kita lakukan. Kata simtom, dalam bahasa Inggris “symptom”, berasal dari
bahasa Yunani, syn yang artinya
“bersama”, dan piptein yang artinya
“jatuh”.
Dengan kata lain, gangguan kesehatan, kesulitan,
atau masalah yang dialami seseorang sebenarnya tidak muncul tiba-tiba. Akar
masalah bisa jadi telah berlangsung selama beberapa hari, bulan, atau bahkan
tahun sebelum akhirnya “jatuh bersama” dan mengakibatkan munculnya simtom.
Pengalaman hidup kita memengaruhi perilaku,
perasaan, sikap mental, dan kesehatan. Dengan menaruh perhatian baik pada
sejarah simtom dan juga pengaruh/akibat yang ditimbulkannya, kita dapat mulai
menemukan, pada level yang lebih dalam, penyebab yang seringkali sangat halus
dan tidak kita sadari yang merupakan kunci untuk kesembuhan diri.
Simtom tidak pernah berdiri sendiri. Simtom
terhubung ke masa lalu karena ia muncul akibat kejadian atau situasi yang dialami
sebelumnya, dan terhubung dengan masa sekarang karena ia memengaruhi hidup kita
saat ini.
Simtom membantu, atau lebih tepatnya memaksa, kita
untuk kembali menjalin relasi dan mengenal perasaan yang terpendam. Simtom
adalah pembawa pesan dari pikiran bawah sadar bahwa ada sesuatu yang
membutuhkan perhatian dan penanganan serius. Bila pesan ini tidak diperhatikan
atau diabaikan maka simtom ini akan terus muncul dan berulang.
Trauma tidak berarti sakit atau selalu
mengakibatkan munculnya penyakit. Yang menyebabkan penyakit adalah perasaan
takut dan kecemasan akibat trauma yang tidak terungkap atau diselesaikan.
Melalui sakit / penyakit, tubuh menyampaikan pesan
yaitu ada yang tidak seimbang (balance). Sakit bukanlah hukuman namun cara
alamiah yang digunakan tubuh untuk menciptakan keseimbangan.
Tubuh memiliki kearifan yang luar biasa. Bila kita
tanggap dan cermat mendengar pesan yang ia sampaikan maka kita dapat membawa
tubuh kembali ke kondisi sehat, harmonis, dan seimbang.
Bila Anda sakit, tanyakan kepada diri sendiri,
“Pesan apa yang ingin disampaikan tubuh kepada saya?” Dengan demikian sakit
atau penyakit tidak dipandang sebagai sesuatu yang buruk tapi suatu undangan
dan peluang untuk menjadi sadar, berubah, dan berkembang. Cara pandang ini
menempatkan sakit sebagai sebuah panggilan dan tubuh sebagai sumber informasi
yang sangat berharga.
Emosi, Stres, dan Persepsi Diri
Stres per se sifatnya netral, tidak baik dan
juga tidak buruk. Yang membuat masalah adalah respon kita terhadap faktor yang
mengakibatkan terjadinya stres. Respon setiap orang berbeda saat menghadapi
tekanan. Ada yang tetap tenang. Ada yang menjadi panik, takut, dan cemas.
Mengapa bisa timbul reaksi yang berbeda dalam
situasi yang sama?
Perbedaannya bergantung pada persepsi seseorang
terhadap kemampuannya mengatasi stres. Bila seseorang memandang dirinya mampu
mengatasi stres maka responnya akan tetap tenang. Sebaliknya bila ia memandang
dirinya tidak mampu maka persepsi ini akan mengakibatkan munculnya berbagai
simtom stres yang dirasakan di tubuh fisik. Persepsi ini bergantung pada proses
tumbuh kembang setiap orang, khususnya pada aspek mental dan emosi.
Emosi yang direpresi, disangkal, atau diabaikan,
yang tidak pernah mendapat kesempatan untuk diungkap, atau tidak pernah
mendapat pengakuan atau perhatian, adalah emosi yang paling membutuhkan
perhatian kita. Setiap emosi yang direpresi, disangkal, atau diabaikan akan
“tersangkut” di dalam tubuh.
Represi terjadi karena mungkin Anda dibesarkan
dengan pola dan diajar untuk lebih mementingkan perasaan orang lain daripada
perasaan Anda sendiri. Ada banyak emosi yang biasanya direpresi: perasaan
terluka, malu, bersalah, dikhianati, marah, sakit hati, dendam, kecewa, benci,
sedih, jengkel, tersinggung, takut, khawatir, kesepian, dan kepedihan.
Satu emosi yang paling sering direpresi adalah
perasaan marah. Marah direpresi karena, menurut norma yang berlaku di
masyarakat, tidak pantas untuk melepaskan perasaan ini di tempat umum atau
kepada orang yang membuat Anda marah. Setiap kali Anda “menelan” perasaan ini
berarti Anda mengabaikannya dan berpikir perasaan ini akan hilang dengan
sendirinya.
Benar, perasaan ini akan “hilang” dan tidak lagi
Anda rasakan, secara sadar. Namun jauh di dalam hati semua perasaan ini tetap
berkobar dan menunggu waktu yang tepat untuk keluar dalam bentuk simtom. Emosi
yang dikubur hidup-hidup tidak akan pernah mati atau padam.
Perasaan yang diabaikan juga akan meminta
perhatian. Perasaan atau emosi ini seperti layaknya manusia akan menggunakan
segala cara untuk bisa mendapat perhatian Anda. Salah satunya adalah dengan
membuat Anda sakit.
Sayangnya, yang lebih sering terjadi, saat kita
sakit, kita tidak mengerti bahwa ini adalah satu bentuk komunikasi dari tubuh
yang membutuhkan perhatian serius. Kita berusaha untuk “menyembuhkan” sakit dan
abai akan pesan yang ingin ia sampaikan, sehingga sakit yang sama akan muncul
lagi.
Alasan kita mengalami sakit adalah karena kejadian,
peristiwa, atau pengalaman di masa lalu, khususnya yang bermuatan emosi negatif
yang intens, masih terus memengaruhi kita, baik sadar maupun tidak sadar.
Hal ini tampak jelas pada tubuh. Setiap detik ada
tujuh juta sel darah merah yang mati dan digantikan dengan sel darah merah
baru. Setiap tujuh tahun seluruh tubuh kita berganti dengan tubuh yang baru.
Namun mengapa sel tubuh yang sakit, walau ia digantikan dengan sel yang baru,
tetap saja sakit? Ini karena program internal-nya tidak berubah.
Solusinya adalah dengan mendengarkan dan memahami
pesan yang disampaikan simtom dan menyadari, mengakui, menghargai, dan menerima
keberadaan perasaan-perasaan yang terpendam atau membutuhkan perhatian. Saat
perasaan itu didengar dan diproses maka ia tidak lagi perlu mengirim pesan
dalam bentuk simtom. Dengan kata lain penyakit akan sembuh dan tidak akan
kembali lagi.
Bagaimana cara memahami pesan dari tubuh ini?
Temukan jawabannya dalam Program Exclusive Training Optimasi Bawah Sadar.
Hubungi 0878.7603.7227 Sekarang.
Sumber; www.adiwgunawan.com